Konflik Papua yang telah berlangsung sejak 1969 adalah salah satu yang terlama dama sejarah manusia modern. Sebagai sumber utama ketidak stabilan politik, konflik yang disertai kekerasan merupakan penghambat besar bagi kemajuan suatu bangsa.
Separatisme dalam sejarah konflik Papua merupakan bentuk pergerakan yang menimbulkan masalah besar. Apalagi menjadi upaya melepaskan diri dari negara sendiri. Dalam artian ingin memerdekakan diri dengan beragam motifnya.
Motif terbesar adalah ketidakadilan dan kecewa terhadap situasi saat ini. Tapi bisa juga disebabkan pihak asing ingin mencaplok wilayahnya. Kepentingan ekonomi dan politik pribadi atau organisasi juga menjadi masalah.
Awal Mula Sejarah Konflik Papua Karena Besarnya Gerakan Separatis
Masalah ekonomi dan politik yang terjadi di Papua mengundang konflik dalam jumlah besar. Apalagi dengan kemunculan organisasi pendukung dan pendorong separatisme. Tentunya ide dan tujuan semacam ini termasuk ekstrem. Bahkan dalam sejarah konflik Papua tidak pernah berakibat dengan efek baik. Melainkan sebaliknya buruk karena mengundang mudahnya kekerasan terjadi. Khususnya apabila jika sudah mulai menggunakan banyak senjata berbahaya.
Belum lagi keadaan semakin parah dengan isu besar diangkat media masa. Tidak menutup kemungkinan dimainkan sehingga membuat nama negara menjadi buruk. Begitu juga saat memberitakan tentang aparat keamanan atau negara. Seringkali tugas negara dengan maksud baik tidak digambarkan sama sekali. Usaha menjaga keamanan untuk rakyat Papua dianggap sebagai kekerasan. Tindakan dan aksinya bahkan mendapatkan perubahan makna berlainan.
Konflik yang dapat disebabkan oleh masalah tersebut sebenarnya sangat sulit dihentikan. Konflik bersenjata membahayakan keamanan negara maupun warga sipil. Bahkan tidak sedikit masyarakat sipil menjadi korban kekerasan. Peristiwa dan sejarah konflik Papua terbilang banyak bentuknya. Misalnya perlawanan bersenjata OPM yang pernah terjadi di 26 Juli 1965. Kejadian tersebut menyerang Manokwari dan menjadi masalah keamanan besar waktu itu.
Dampak Konflik Bersenjata dan Gelombang Kekerasan di Papua
Kasus dalam sejarah konflik Papua tercatat cukup melimpah. Contohnya yakni kasus Wasior (2001) hingga Wamena (2003). Konflik terjadi antara aparat setempat dengan warga lokal yang berhubungan dengan separatisme. Gerakan separatisme menjadi kelompok krimimal karena mengira pemerintah melanggar HAM. Tapi sebenarnya sebaliknya karena tindakan gerakan tersebut adalah makar. Tentunya melawan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara.
Gelombang kekerasan semakin banyak terjadi, misalnya pada 28 Agustus 2019 di Deiyai. Begitu juga kerusuhan 26 September 2019 di Wamena dan Jayapura. Masing-masing kasus menewaskan 8 orang dan 37 orang. Salah satu konflik terbesar adalah pada 2 Desember 2018 di mana 31 pekerja proyek jalan raya dibunuh. Kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya merupakan dalangnya. Kemudian muncul operasi militer Nduga.
Amnesty International dalam sejarah konflik Papua mencatatkan 182 warna sipil melarikan diri. Kelompok bersenjata menyebut pemerintah yang menyebabkan keamanan warga memburuk. Padahal fakta ini tidak sesuai dengan faktanya. Kerusuhan yang dibuat oleh kelompok separatisme tersebut seringkali sporadis atau tanpa koordinasi. Tapi mulai melakukan kampanye internasional untuk mendukung aksinya. Apalagi setelah mengetahui aksi kekerasan tidak efektif.
Berbagai kampanye internasional secara aktif diangkat pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Meski begitu tidak banyak yang mengakui Papua sebagai negara sendiri. Tentu menjadi bukti jika separatisme sudah kehilangan arah. Kegagalan teror, kekerasan hingga pembunuhan membuka mata dunia. Negara lainnya tidak mendukung kedaulatan Papua sebagai negara. Opini publik tidak bisa dijadikan keutamaan melainkan harus berdasarkan hukum internasional.
Faktor Utama yang Membuat Konflik di Papua Terjadi
Dalam sejarah konflik Papua tentunya terdapat banyak faktor utama kenapa dapat terjadi. Berbagai akar masalah dikaji dan sebenarnya tidak semudah itu dapat diselesaikan. Apalagi bisa berkelanjutan jika salah dalam mengatasinya. Faktor pertama yang menjadikan konflik di Tanah Papua membesar adalah diskriminasi. Bahkan telah dijadikan sebagai masalah terbesar yang merupakan perhatian pemerintah. Tidak heran jika Papua lebih banyak diperhatikan.
Selain itu masalah penyelesaian HAM atau Hak Asasi Manusia belum terlalu baik. Persoalan yang sudah ada dari Orde Baru belum selesai sampai sekarang. Dibutuhkan pendekatan represif yang masih belum sempurna. Jika melihat sejarah konflik Papua, masalah seperti kegagalan pembangunan juga banyak dibicarakan. Apalagi termasuk sebagai daerah tertinggal di Indonesia. Penyebabnya karena medan jalan yang belum terbuka dan wilayahnya luas.
Kegagalan pembangunan sendiri direncanakan dengan baik untuk menghindari kemiskinan. Implementasi ekonomi atau afirmasi dapat berjalan jika pembangunan berhasil. Tentu banyak dinantikan warga lokal karena terbilang lambat. Sementara itu masalah yang tidak kalah besarnya yakni tentang status politik. Pada dasarnya tidak memiliki sejarah politik yang cukup baik. Penyebabnya karena punya persoalan besar yang belum terlalu diperhatikan pemerintah.
Perbedaan antara pandangan status politik hingga integrasi Papua terbilang belum baik. Padahal terdapat UU Otsus yang mengatur tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi dicabut MK sehingga pelurusan sejarah tersendat. Gelombang kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa belum berhasil dituntaskan pemerintah. Bahkan permintaan untuk separatisme masih digaungkan kelompok bersenjata. Wajar jika disebutkan sejarah konflik Papua bisa terus berlanjut.